Sabtu, 09 Agustus 2008

Seorang bernama Sofyan


Sofyan tergeletak lemah. Ia meraung kesakitan dan tangan kanannya memegang dada dibalik kaus oblongnya. Ia terus berupaya sekuat tenaga menahan rasa perihnya. Di dalam hatinya, ia percaya bahwa sekaranglah hari yang tepat bagi nyawanya untuk lepas landas. Ia tahu sebentar lagi kematian datang, namun ia bingung untuk menghadapi saat-saat ini. Ia berteriak, berguling-guling, dan menggeliat, namun tidak sepatah katapun ia keluarkan untuk meminta tolong. Ya, tidak satupun rasanya orang yang sudi menolong seorang bangsat yang sudah selama ini cukup merugikan untuk hidup di tengah masyarakat, begitu pikirnya.
Di tengah pergulatan sengitnya, matanya terbuka, dan seketika itu ia melihat sesosok manusia berdiri di depannya. Sofyan memandangi sepatu yang dikenakan sosok tersebut yang kebetulan sejajar dengan mukanya. Sempat mengira sepatu bagus tersebut akan menempel di wajahnya, yang terjadi justru sebaliknya, orang tersebut menyodorkan tangannya memberi bantuan untuk berdiri. Rasa heran Sofyan menutupi rasa sakitnya yang tiba-tiba menghilang. Ia meraih tangan itu dan tiba-tiba angin dingin nan sejuk berhembus melewati badannya, membersihkan luka-luka yang ia dapat, kotoran di tubuhnya, kotoran di bajunya, namun tidak untuk kotoran di dalam kepalanya.
Sofyan menyambut undangan tangan itu untuk berdiri. Ia masih memegang dada kirinya. Ia berbagi pandangan penuh keheranan dengan orang yang berdiri di depannya. Wajah orang tersebut putih bersinar, hidungnya mancung, matanya sebening air, badannya tegap, rambutnya hitam legam, ia mengenakan baju yang sama dengan yang dipakai Sofyan, hanya saja lebih bersih, lebih rapih, dan lebih pantas. Sofyan terpana melihat laki-laki itu, andai saja ia seorang homoseksual, berarti ia baru melihat surga di hadapannya.
“ Kamu pasti artis ’kan ?“ kata Sofyan mencoba membuka pembicaraan. ”Bukan.” orang itu menjawab. ”Model ?” Sofyan kembali bertanya. ”Juga bukan.”
”Penyanyi ?” kata Sofyan, ”Itu juga bukan.” Sofyan kehabisan kata-kata untuk menebak siapa yang berdiri di hadapannya, ”Terus kamu siapa?” Orang itu melihat Sofyan, ia berpikir sejenak, kemudian menjawab, ”Aku adalah siapa saja yang kamu tidak punya kemungkinan sedikitpun untuk menjadikannya dalam dirimu. Aku seorang profesor, insinyur, doktor, ulama, cendikiawan, pujangga, murid sekolah, orang kaya, presiden, atau mungkin….seorang polisi!” Sofyan terkejut ketika mendengar kata polisi. Ia ingat bahwa ia sedang dikejar polisi saat ini. Ia menyadari tangan kanannya yang masih memegang dadanya untuk mengurangi darah yang bercucuran karena tertembak.
Namun rasa sakit itu tidak terasa lagi, sudah hilang sejak beberapa saat lalu. Bekas darahnyapun tidak ada setetes pun membasahi kaos dan jaket kulitnya. Ia membuka kaosnya untuk memastikan kondisinya, dan yang ia lihat adalah tato WTS-nya tanpa ada bekas peluru satupun yang bersarang. ”Aneh ’kan ?” orang tersebut menatap tingkah Sofyan. Dipenuhi rasa bingung, Sofyan terbata-bata mencoba untuk bicara, ia sadar lama-lama kepalanya akan meledak juga karena rasa heran yang berdesakan di ubun-ubunnya. ”Aku di mana?”
”Kamu tidak akan percaya. Lihat saja sekelilingmu dan putuskan sendiri.” Sofyan melihat sekelilingnya. Pemandangan yang sangat indah terhampar di kanan-kirinya. Pohon-pohon menjulang diiringi kristal-kristal berpantulan membentuk cahaya terang. Ia melihat gunung berwarna biru muda dari kejauhan yang dapat ia rasakan kesejukannya dari tempat ia berdiri. Awan pun berlalu-lalang dengan teratur, ia melihat seakan awan tersebut tersenyum dengan mesra. Air liur mulai mengalir di bawah bibir Sofyan. Rasa kaget kembali datang ketika Sofyan mendapat dirinya tengah berdiri di atas permukaan laut luas yang airnya sangat jernih. Ia terhuyung mencoba meraih pegangan agar tidak jatuh tenggelam. Tetapi Sofyan berdiri di atas laut dengan stabil seakan ada permukaan transparan yang melapisi laut tersebut. Ia melihat ke bawah dan nampak ikan-ikan dengan aneka bentuk dan warna berenang-renang dibawah sepatu bututnya. Saking jernihnya, ia bahkan dapat melihat dasar laut tersebut.
Sofyan menatap penuh keingintahuan, ”Tempat apa ini ?” . Orang tersebut kembali menatap Sofyan, ”Aku tidak akan memberitahu karena kamu tidak akan percaya sampai kapanpun.” Sofyan semakin tidak mengerti dan semakin penasaran dengan segalanya. ”Sekarang kamu ikut saya, waktu saya tidak banyak.” Sofyan mengiyakan ajakan orang tersebut. Kemudian, Ia berjalan mengikuti langkah pria misterius itu di belakangnya. Ia mengamati gerak-geriknya, postur tubuhnya, dan segala yang menempel di tubuhnya, tak lama akhirnya ia menyadari setelan yang ia pakai persis sama dengan orang yang di depannya itu.
Belum sempat ia menanyakan hipotesis-nya mengenai baju itu, tiba-tiba di hadapannya berdiri sebuah batu besar yang putih seperti kapur. Dari batu tersebut terlihat suatu cahaya dan kemudian tergambar sebuah rumah di dalamnya. Lalu di dalam rumah tersebut terdapat seorang wanita yang sedang berusaha melahirkan seorang anak. Wanita tersebut terengah-engah kelelahan dan keringat banjir di mukanya. Tak lama kemudian seorang bayi kecil mungil keluar dari vaginanya dan menangis kencang. ”Anak ibu laki-laki, sehat lagi.” ujar seseorang yang berada satu ruangan dengan ibu tersebut.
Ibu itu meninggal sesaat setelah melahirkan. Anak itu lalu diasuh oleh bapaknya. ”Sialan ! itu ’kan saya.” teriak Sofyan. Kali ini ia tidak berani bertanya, mengingat kebingungan yang sebelumnya belum juga terpecahkan olehnya. Sofyan kembali melihat dirinya ketika kecil hidup dalam penderitaan. Ayahnya pemabuk, playboy kampung, tukang judi yang telah menyia-nyiakan masa kanak-kanaknya. Ia melihat dirinya ketika berusia 5 tahun, sendirian di tengah dingin dan gelapnya malam, menahan rasa lapar dan takut, sedangkan ayahnya berada di tempat lain dengan gadis-gadis binal.
Sofyan kecil menangis di atas tikar, memanggil nama ayahnya, berharap agar cepat pulang membawa nasi bungkus. Namun, malam itu yang mengetuk pintu adalah tukang penagih hutang yang menyeretnya keluar dan menghancurkan gubuk reotnya. Dengan sedih, Sofyan berlari mencari perlindungan. Ia menemukan sebuah tempat sejuk di bawah jembatan untuk menghilangkan rasa lelahnya. Di situ Sofyan berkenalan dengan ”kehidupan keras yang tidak pernah adil”, ia diajarkan cara bertahan hidup dengan mengamen untuk menafkahi diri sendiri.
Ia berjuang bersimbah keringat polos anak kecil yang seharusnya bermain bersama teman sebayanya. Ia diludahi, diinjak, ditendang, dan dicaci-maki. Di usianya yang ke-8, ia tidak memerlukan kamus untuk mencari arti kata penderitaan hidup. Usia 13 tahun, pertama kalinya ia merampok seorang nenek tua bahkan ia sempat menikam seorang pejalan kaki. Setahun kemudian, ia dapat kembali merasakan rumah, makanan gratis, dan kasur. Masa-masa itu adalah masa 6 bulan ia hidup di penjara atas perbuatannya mencoba memperkosa seorang anak SD.
Usia 16 tahun, ia telah benar-benar memperkosa seorang gadis. Kali ini, ia memanfaatkan perasaan trauma korbannya untuk menjauhkan dirinya dari hukuman penjara. Di hari ulang tahunnya yang ke-17, di mana orang lain merayakan hari itu dengan pesta meriah, ia justru merampok rumah seorang pengusaha dan berpesta mirasantika bersama geng-nya. Usia 20 tahun dilewati dengan 3 kali overdosis, 6 kali membobol rumah orang kaya, dan 4 kali membobol keperawanan gadis sekolah dengan paksa. Usia 22 tahun, mencatatkan sejarah sebagai tahun pertama ia menghabisi nyawa seseorang dengan pistol. Sofyan seperti terhanyut dengan kisah kehidupannya sendiri yang begitu pahit. Tiba-tiba gambar di batu itu berhenti ketika memasuki usianya yang ke 25, yang merupakan usianya saat ini.
Sofyan menatap batu itu tanpa eksepresi, dengan senyum sinis ia berujar, ”Jadi ini maksudnya. Seseorang telah mengikutiku selama ini dan merekam gerak-gerik yang saya lakukan. Kemudian memperlihatkan kepadaku seolah-olah itu sebagai hukuman yang akan membuatku malu dan menangis karena menyesal. Ya, aku memang menyesal, menyesal karena hidup terlahir sebagai manusia, terlahir sebagai samsak, sebagai karpet yang terus diinjak, sebagai anjing yang tidak dihargai, tetapi memang itu kan seharusnya aku hidup. Penderitaan memang menjadi temanku, aku tidak perlu takut dengan siksa neraka karena aku sudah mendapatkannya di dunia, bahkan ketika aku masih kecil. Dan apakah aku punya pilihan? Tidak ! Aku tidak punya pilihan! Aku tidak punya…!!” Sofyan merenggut kerah orang yang berdiri di sampingnya, ia kesal sekali dan bersiap memberi bogem mentah.
”Sofyan…Sofyan..jangan jauh-jauh nak..”.terdengar suara di batu putih itu. Sofyan melirik dan melihat seorang anak kecil berlari-lari dengan bahagia di tengah pantai. Ia bermain dengan ombak dan berenang dengan riang kesana-kemari. Dari kejauhan ia melihat seorang pria dan wanita menatapnya dengan tersenyum hangat.
”Apa-apaan ini!” Sofyan berteriak tidak percaya. Ia melihat anak kecil di batu tersebut pergi bersekolah di Sekolah Dasar. Bermain bola bersama teman-teman sebayanya. Bercanda ria dengan Ibu Guru di dalam kelas. Kemudian ia berseragam SMP. Ia menuntun seorang nenek yang dulu Sofyan rampok, menyebrangi jalan raya yang ramai. Ia berangkat sekolah bersama adik perempuannya yang cantik yang masih SD. Gadis yang menyebabkan ia pertama masuk penjara karena mencoba memperkosanya.
Kemudian, ia melihat dirinya jatuh cinta dengan seorang gadis lugu di SMA. ”Orang itu pernah aku perkosa…” Sofyan menyadari sesuatu. Ia melihat dirinya dan teman-teman se-gengnya duduk di sebuah restoran untuk merayakan ultahnya yang ke-17. Kemudian ia semakin dewasa dan mencicipi bangku kuliah. Ia berdiri dengan gagah dibalik toganya dan memeluk kedua orangtuanya yang sudah tua dengan berlinang air mata. Sofyan duduk di pelaminan bersama wanita tempat pertama kalinya ia jatuh cinta, dikelilingi oleh teman dan saudaranya yang larut dalam kebahagiaannya. Ia memiliki seorang anak perempuan. Ia duduk di sofa empuk di dalam rumahnya, tempat di mana Sofyan pernah merampok isinya habis-habisan.
Ia lalu menyadari wajah orang misterius di sampingnya itu sangat mirip dengan wajah Sofyan yang tergambar di batu itu.
”Lihat siapa itu.” pria misterius itu bicara, ”Bukankah itu kamu? Bukankah itu aku? Bagaimana mungkin? Sofyan, yang barusan kamu lihat itu adalah pilihan yang kau anggap kamu tidak memilikinya. Itu adalah kenyataan, Sofyan, bukan mimpi atau khayalan. Kenyataan yang berada jauh di dalam hatimu, yang selalu mencoba mengetuk dirimu, yang selalu kau abaikan selama ini, yang selalu kau butakan arahnya. Pernahkah kau berpikir bahwa tidak seharusnya kau menerima hidup yang seperti sekarang ? Jangankan memikirkannya, melawannya pun kau tidak bisa. Kamu lemah, Sofyan. Keadaan dirimu yang menderita itu tidak pernah kamu lawan. Kamu pasrah tidak berdaya pada nasib malangmu itu. Hidupmu dipenuhi dengan menyalahkan diri sendiri, memaki diri sendiri, menginjak-injak, dan meludahi diri sendiri. Kamu penyebab semua ini. Sofyan, pilihan itu selalu ada, dimanapun tempatmu berdiri, kapanpun, siapapun. Yang harus kau lakukan adalah : percaya. Percayalah, bahwa kau bisa mendapat apapun yang kamu mau.”
Bruuk..!! Sofyan jatuh berlutut. Ia menangis, meneteskan air mata. Tangan kanannya memegang batu tersebut. Ia melihat dirinya ketika kecil. Berlari gembira tanpa beban. Tersenyum manis, bercanda dengan ayah-ibunya. Ketiga orang itu melihat wajah Sofyan yang sekarang menangis. Mereka tersenyum ke arahnya. Sofyan menitikkan lebih banyak air mata dan mulutnya bergetar mencoba tersenyum. ”Ada di mana kalian semua..?”
Sofyan yang satunya lagi yang berdiri di sampingnya mengambil sebuah tongkat. ”Waktunya habis.” Ia memukulkan tongkat tersebut ke bawah. Kemudian permukaan laut itupun pecah dan ombak besar menyeret Sofyan ke dalamnya dengan cepat sekali. Ia merasa sesak napas akibat tekanan air laut yang begitu besar.
Aaaaarggghhh….! Sofyan terbangun di suatu ruangan. Ia memegang kepalanya dan bangun dari kasurnya. Ia keluar dari ruangan yang bernama Kamar Jenazah dan berjalan tanpa arah. Sofyan melihat jam dinding, ”Sial ! Aku terlambat.” Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan pistol kemudian ia berlari menuju rumah yang sangat besar di ujung jalan dengan langkah pasti.

2 komentar: