Kamis, 10 Juli 2008

Jurang

Malam ini terasa seperti malam-malam sebelumnya, gerah dan pengap oleh asap pekat bercampur hawa panas dari knalpot bis-bis yang silih berganti datang dan pergi di terminal antar kota yang kian menua ini.
"Masih kurang berapa orang lagi Jan?"tanyaku pada kenek bernama Januar itu.
"Masih kurang banyak kang..."keluh si Januar.
"Yo wis lah...5 lima menit lagi kita narik.."tukasku sambil menyeruput kopi panas yang tinggal separuh.
Beginilah nasib seorang sopir bis antar kota seperti aku dalam menjalani malam demi malam yang tidak jelas. Jumlah penumpang selalu saja berkurang setiap harinya sehingga membuat pendapatan harian juga menurun hari demi hari.
Teringat lagi aku oleh istri yang mengeluh dengan uang belanja yang mulai berkurang, "Mas..tolong usahakan uang belanja ya...malu aku sama warung...sudah sebulan ini utang belanja ditagih terus..."
Istriku masih menatapku yang berbaring kelelahan di sisi tubuhnya. Dia membalikkan tubuhnya dan membelakangiku, mataku masih terpejam mencoba menuju alam tidur namun sayup-sayup terdengar isak tangis istriku.
"Kenapa menangis ma..?"tanyaku seraya melihat tubuh istriku yang menghadap tembok kamar.
"kenapa hidup kita tidak berubah sedikitpun mas?kenapa?"tanya istriku dalam isak tangisnya.
"Sudah 4 tahun ini sejak kamu di-PHK, kita hidup seperti ini terus..."
"Bersabarlah ma...aku juga tak mau hidup seperti ini terus.."jawabku.
"Kamu tidak harus jadi sopir bis antar kota kan?pengalaman kerjamu bisa membuatmu dapat pekerjaan lebih dari itu.."kata istriku lirih.
Memang banyak orang yang menyayangkan pekerjaanku sebagai seorang sopir, sebelumnya aku adalah seorang pegawai di salah satu perusahaan swasta yang akhirnya mem-PHK beberapa ratus karyawannya termasuk aku. Orang boleh saja berkomentar dengan pekerjaanku sekarang ini, tentunya mereka hanya bisa berkomentar tanpa pernah tahu betapa susahnya aku mencari pekerjaan pengganti setelah di-PHK.
Menjadi seorang sopir sebenarnya bukan pilihanku, aku sendiri tak begitu ingat awalnya aku mendapat pekerjaan ini. Seorang teman masa kecilku secara kebetulan bertemu denganku di bis kota yang aku tumpangi, ketika aku hendak mendatangi interview di sebuah perusahaan garmen. Tak disangka dia adalah sopir bis kota itu, kamipun terlibat perbincangan dan ujung-ujungnya dialah yang menawariku bekerja sebagai seorang sopir bis.
"Kang...bisnya udah lumayan, tinggal 5 kursi lagi..."tegur Januar membuyarkan lamunanku.
"Yo wis...kita berangkat sekarang.."aku segera beranjak dari bangku warung kopi yang biasa dijadikan tempat nongkrong para sopir bis seperti aku.
Sejurus kemudian aku telah menaiki kendaraan yang besar itu, segera setelah duduk di kursi kemudi aku menyalakan mesin bis. Sekilas dari kaca spion yang ada diatasku aku melihat wajah-wajah kelelahan sekaligus lega karena bis akan segera melaju.
-----------------
Bis yang aku kemudikan berjalan merambat di belakang bis lain sebelum akhirnya harus meninggalkan gerbang terminal. Sama seperti malam sebelumnya, calon penumpang tak begitu banyak mengunjungi terminal tua ini. Suara-suara lantang para calo mulai melirih, aku melihat beberapa diantara mereka menyudut sambil menghitung setiap lembar uang ribuan dan recehan dari saku celananya. Ada sedikit kelegaan terpancar di wajah mereka, rejeki hari ini sedikit seret tapi tak apalah masih ada uang yang bisa dibawa pulang.
Yah...mereka sama seperti aku, menjadi orang-orang jalanan yang mengais rejeki di terminal antar kota yang kian merenta ini. Apakah ini pilihan hidup? aku meragukannya, sebab mana mungkin mereka memilih bergelut dengan asap bis-bis dan terkadang harus berkelahi hanya untuk memperebutkan seorang penumpang, bahkan seringkali beberapa diantara mereka harus meregang nyawa hanya untuk berebut beberapa lembar uang seribuan.
Apakah sedemikian murahnya nyawa orang-orang jalanan? Tentu ini bukanlah pilihan hidup mereka. Semua manusia pastinya menginginkan kemapanan dalam hidupnya, memiliki sebuah pekerjaan yang menjamin hari tua, punya banyak waktu untuk menikmati hidup dan bersenang-senang dan juga… ahh apakah semua itu hanya mimpi yang takkan pernah terwujud nyata?
Barangkali inilah yang disebut jalan hidup, jalan yang harus kita tempuh tanpa pernah tahu akan berujung kemana, jalan yang terkadang terasa menyenangkan dan juga jalan yang seringkali dipenuhi lubang dan kerikil tajam yang memaksa kita berjuang lebih keras dari biasanya. Inilah jalan yang harus aku hadapi sekarang, siapa yang akan menyangka seorang karyawan swasta tiba-tiba menjadi seorang sopir bis antar kota, tapi mengeluh sekarangpun takkan ada gunanya, karena apapun yang terjadi aku masih memiliki anak dan istri yang menjadi tanggungjawabku.
Tak mungkin aku menyerah pada hidup yang semakin terasa berat ini., harus tetap ada nasi di rumahku dan harus tetap ada uang untuk membayar sekolah anakku yang kini masih di bangku taman kanak-kanak. Meskipun seringkali aku merasa skeptis pada pendidikan di negeri ini, karena ternyata pendidikan tinggi tak menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Sesal terkadang menghampiriku, mengapa dulu aku harus berjuang mempertahankan kuliahku demi mendapatkan gelar Diploma III politeknik jika akhirnya pekerjaan yang aku dapatkan kini tak sebanding dengan titel Ahli Madya-ku.
Apakah ada yang salah dengan negeri ini? ataukah malah aku yang salah? Seperti istriku yang selalu menyalahkanku bahwa aku kurang berusaha, kurang tekun mengajukan surat lamaran ke banyak perusahaan dan lebih memilih menjadi seorang sopir.
Bukan, bukan aku yang salah, karena kenyataannya sudah terlalu banyak surat lamaran yang aku kirimkan, ada beberapa yang mengundang wawacara, tapi ternyata ujung-ujungnya bukan aku yang diterima karja. Jika aku belum direkrut menjadi karyawan apakah aku harus protes pada perusahaan-perusahaan itu? Merekalah yang punya kuasa, merekalah yang mempunyai kekuatan memilih, jika aku bukan pilihan mereka lalu aku bisa berbuat apa?
“Yang turun terminal Kediri..!!persiapan..!!”suara lantang Januar kembali membuyarkan lamunanku, ternyata sudah seperempat perjalanan aku mengemudikan bis antar kota ini. Beberapa menit bis berhenti di terminal Kediri, aku menyempatkan membasuh keringat diwajahku dengan selembar handuk kecil basah, ahh..terasa sedikit berkurang kepenatan yang aku rasakan. Ada beberapa penumpang yang turun dari bis namun bangku yang kosong segera terisi kembali oleh penumpang dari terminal ini.
“Wah, lumayan bang!penumpangnya nambah 6 orang!!”kata Januar kegirangan.
“Ya begitulah yang namanya rejeki Jan, sudah diatur Yang Diatas..”tukasku pada Januar dan dia terlihat senang.
Tak berapa lama transit di terminal Kediri, aku segera menginjak pedal gas dan bis antar kota yang aku kemudikan pun segera melaju melanjutkan perjalanan.
Sekilas aku menatap kaca spion diatasku, terlihat mukaku yang semakin tirus dan berminyak saja. Padahal sewaktu masih menjadi karyawan swasta penampilanku tidak sekumuh ini, setiap berangkat kerja aku selalu mengenakan kemeja rapi dan licin. Kini kemeja-kemeja itu masih aku pakai, tapi tentu saja karena terlalu sering bermandikan keringat, kemeja-kemeja tersebut sudah terlihat sangat lusuh dan warnanyapun telah memudar.
Ah..sekarang bagiku tidak terlalu penting memperhatikan penampilan, toh aku sudah memiliki seorang istri dan dua orang anak yang lucu-lucu. Yang terpenting bagiku adalah bagaimana bisa pulang ke rumah dengan membawa uang sehingga istriku bisa membayar utang di warung, aku pun bisa memeluk anak-anakku dan ikut bermain bersama mereka.
Memang bagi seorang lelaki yang sudah menikah, dekat dengan anak istri selalu terasa begitu menyenangkan dan membuat hati tentram. Lupa sudah segala kelelahan menyupir bis antar kota, lupa pula kesedihan karena penumpang yang sepi. Haha…lucu juga jika membandingkan aku yang dulu dan aku yang sekarang, dulu semuanya terasa sangat mudah terbeli. Ketika menjadi karyawan aku selalu punya waktu untuk merawat diri di salon meskipun sekedar potong rambut dan perawatan muka, tak mengherankan jika aku punya kepercayaan diri yang besar untuk merayu para gadis di kantorku, dan yang membanggakan ternyata sebagian besar dari mereka terpikat rayuanku. Salah satunya adalah Asih yang kini menjadi istriku dan kamipun menikah lima tahun yang lalu. Namun kebijakan perusahaan melarang suami istri bekerja dalam satu kantor, sehingga akhirnya istriku lebih memilih mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga.
Ternyata keberuntungan tidak menghinggapi keluarga baruku, satu tahun setelah menikah, perusahaan tempatku bekerja mengurangi jumlah karyawannya dan akupun masuk daftar karyawan yang di-PHK, aku tak bisa berbuat banyak dengan keputusan sepihak ini. Seperti biasa, pihak perusahaan selalu menggunakan kebijakan manajemen sebagai senjata mereka.
Aku mendapat pesangon yang tak seberapa besar dan berharap uang itu dapat menopang hidup keluargaku untuk beberapa saat, namun tetap saja kondisi ekonomi keluarga baruku tidak semakin baik dan sejak saat itulah hidupku berubah 180 derajat. Uang terasa sangat susah didapat, bahkan sering kali pula selama beberapa hari aku tak punya sepeser uangpun untuk kuberikan pada istriku, saldo tabunganku pun akhirnya tak bersisa lagi.
Di saat aku berpikir jalan telah benar-benar buntu, tawaran menjadi sopir bis dari teman masa kecil tak aku sia-siakan dan jadilah aku seperti sekarang ini.
-----------------------
Bis yang aku kendarai terus melaju menembus malam yang semakin pekat. Ahh..sungguh melelahkan pekerjaan ini, sesekali aku menguap karena rasa kantuk yang mulai menyerang. Aneh…mengapa malam ini terasa kurang mengenakkan bagiku? Padahal aku sudah menyeruput segelas penuh kopi kental ditambah lagi minuman energi yang seharusnya membuatku terjaga sepanjang malam hingga pagi menjelang.
Mataku terasa memberat, seakan-akan bulu-bulu mataku digantungi bandul besi 1 kilogram. Aku melirik pada kenekku si Januar, ternyata dia juga terlihat terkantuk-kantuk, aku merasa geli sendiri melihat kepalanya yang pelahan-lahan menunduk kemudian tiba-tiba tegak kembali sementara kedua matanya setengah terpejam, hahaha… seringkali pula kepalanya hampir terantuk kaca depan bis.
“Hahahaha…malam masih panjang Jan! Jangan molor duluan...ntar aku potong bayaran kau!” tegurku sambil tertawa.
”Ehh uh...abisnya ngantuk buanget kang, mata ini kayaknya gak mau diajak kerjasama!” sanggah Januar membela diri, tangannya kemudian meraih botol air mineral dan diteguknya air itu agar kantuk menghilang.
”Hoy, jangan kau habiskan sendiri air itu, aku juga butuh..”sergahku dan sejurus kemudian botol air mineral itu telah berpindah di tanganku. Terasa segar tenggorokan ini terbasuh air dingin, untuk sesaat aku bisa mengusir kantukku.
Aku kembali berkonsentrasi menyetir bis kota dengan kecepatan stabil. Rute yang aku lalui selalu sama sejak empat tahun yang lalu dan aku sudah sangat hapal dengan jalan raya ini. Jalan yang sama yang dilalui ratusan bahkan ribuan kendaraan setiap harinya, semua melaju membawa urusan mereka masing-masing, semuanya seolah berlomba dengan waktu dan semuanya mencari penghidupan, sama seperti aku.
Kantuk kembali menyergapku membabi-buta, aneh tak biasanya aku sengantuk ini, apa mungkin kopi yang aku minum sewaktu di warung terminal tadi bukan kopi murni?
Bodoh! Kenapa aku mengharapkan kopi murni dari segelas kopi seharga seribuan? Apalagi sekarang sembako naik harga gila-gilaan, bisa bangkrut ibu pemilik warung kalau terus menjual kopi murni kepada sopir semacam aku ini. Aku berusaha melawan kantuk yang makin membuat mataku terasa berat, konsentrasi menyetirku semakin membuyar, aku juga merasa sesekali aku menginjak gas terlalu dalam sehingga bus melaju lebih kencang dari sebelumnya.
”Deeggg!!!” jantungku seolah meloncat dari dada saat tiba-tiba seorang anak kecil berlari menyeberangi jalan raya, anak kecil berbaju putih itu berjarak teramat dekat dengan moncong bus yang aku kemudikan.
Tak ayal kejadian yang sangat tiba-tiba itu memaksaku mengerem dan membanting stir sekuat-kuatnya agar anak kecil itu tak terlindas bus, namun...
”ciiiiitttt...ciiittt!!! braaaaakkk!!!”bus yang aku kemudikan menikung sangat tajam membuat badan bus hilang keseimbangan.
”Ya Tuhan!!!apa yang telah aku lakukan!!!” aku sangat panik saat menyadari dunia berjungkir balik berkali-kali.Sekilas aku menoleh ke arah para penumpang dan melihat kepanikan mereka, beberapa dari mereka berteriak histeris sambil menyebut nama Tuhan. Aku mendapati banyak penumpang yang tubuhnya terlempar karena hentakan bus yang telah kehilangan keseimbangannya.
Bus yang aku kemudikan terguling beberapa kali hingga akhirnya terseret beberapa meter jauhnya, sebelum akhirnya menjebol pagar baja pembatas hingga bus berisi 40 manusia itu jatuh ke dalam jurang!!
Bus kembali terguling berkali-kali, ”Praaanggg...!” kaca depan bus dan kaca-kaca samping telah hancur berderai menjadi kepingan-kepingan kecil.
”Kang!! Bagaimana ini!!!mati aku!!!” Januar yang sedari tadi panik menjadi semakin panik, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa, kekuatan gravitasi jauh melebihi kemampuanku sebagai manusia biasa.
Tebing jurang yang sangat curam membuat bus yang telah ringsek itu terus berguling menuju ke dasar jurang. Aku masih ingin hidup!!aku tak mau mati disini! Secara reflek aku mencoba mencari peluang agar bertahan hidup. Jendela depan bus telah menganga lebar tak lagi dilindungi kaca tebal, aku melihat Januar berpikiran sama denganku, kami memang memiliki peluang hidup lebih besar dibandingkan penumpang bus lainnya. Seketika itu juga dalam waktu hampir bersamaan aku dan Januar melompati jendela depan bus dan keluar dari dalam bus yang mulai memercikkan bunga api akibat korsleting.
Saat badanku menyentuh tanah aku tak tahu telah terguling berapa kali, berkali-kali pula kulit badanku tergores bebatuan yang muncul dari permukaan tebing, beberapa bagian tubuhku tersayat cukup dalam hingga mengucurkan darah segar yang lumayan deras.
Aku tak peduli dengan luka-luka sayatan bebatuan itu, yang terpikir dalam benakku saat ini adalah bagaimana agar tetap hidup.
”Uuuugghhh!!!” perutku terasa bagaikan dihujam tinju seorang petinju kelas berat saat tubuhku menghantam sebuah batu besar di permukaan tebing. Sakit sekali rasanya tubuh ini, aku juga merasakan beberapa tulang rusukku patah akibat hantaman batu besar itu. Sesaat kemudian aku berusaha bangkit dan mencoba memulihkan kesadaranku, kepalaku terasa sangat pusing dan berat.
---------------------------
Malam yang semakin pekat untuk beberapa saat berubah menjadi terang benderang dan hawa panas menyelimuti udara di sekitarku. Aku terdiam mematung dengan mata yang menatap nanar bus yang berkobar terlalap lautan api. Bus itu telah jatuh ke dasar jurang dan aku berada 5 meter diatasnya, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Terdengar jeritan-jeritan para penumpang yang tak dapat menyelamatkan diri dari bis yang dipenuhi kobaran api. Mereka terpanggang hidup-hidup di dalam bis yang aku kendarai, aku mencium bau anyir daging terbakar disertai asap gelap pekat yang membumbung menuju langit malam.
Januar yang berdiri tak jauh dari tempatku terlihat tertegun dan mematung sama seperti aku. Sekujur tubuhnya dibaluti lumpur kecoklatan sementara pelipisnya tak henti-hentinya mengalirkan darah segar.
Awan mendung yang sedari tadi menggelayut di langit seolah murka dengan kebodohanku.”Jdaaarrrrrr!!!” petir berkelebat dari langit seperti ingin menampar mukaku dengan sangat kerasnya, diiringi gemuruh guntur yang seakan mencercaku berkali-kali...
Tak beberapa lama kemudian hujan turun dari langit, semakin lama semakin deras seolah menangisi jiwa-jiwa para penumpang yang melayang menuju alam baka akibat kebodohanku.
Lumpur dan darah yang membaluti tubuhku perlahan-lahan meluntur terbasuh air hujan, Tubuh Januar yang hampir menyerupai manusia lumpur mulai bergerak mendekatiku, wajahnya yang tersamarkan lumpur dan darah tak begitu jelas memperlihatkan ekspresi. Lumpur dan darah di wajahnya terus terguyur air hujan yang menderas, makin sadarlah aku bahwa raut muka bocah remaja putus SMP itu memperlihatkan kemarahan, kecemasan dan ketakutan yang bercampur baur.
”Plakkk!!!” mendadak sekali Januar menampar mukaku, aku terkesiap dan mematung beberapa detik namun segera tergantikan amarah yang mendidih.
Remaja tanggung ini dengan kurang ajar menampar harga diriku, ”Apa-apaan kau Jan!!” teriakku penuh kegeraman seraya tubuhku menerkam badan kecil Januar.
”Bukk!!bukkk!!!” meskipun ada beberapa tinjuku berhasil ditangkisnya, namun ada juga beberapa tinjuku menghujam perutnya dengan sangat keras hingga membuat Januar jatuh tersungkur.
Aku kembali menerkam tubuh Januar, kami bergumul di tengah lumpur dan hujan deras. Tubuhku dan tubuh Januar berguling-guling hingga ke dasar jurang dan sangat dekat dengan bangkai bus yang masih diselimuti api.
Aku berhasil mencengkeram tubuh Januar yang terkapar hampir pingsan, tangan kananku meraih batu terdekat sedangkan tangan kiriku masih mencengkeram lehernya.
”Ayo bunuh aku juga kang!biar tidak ada saksi!!ayo!!ayo!!” tantang Januar ditengah ketidakberdayaannya, air matanya mengalir bercampur air hujan yang belum juga mereda.
Mendengar tantangan tersebut aku tertegun dan tersadar dari amarah yang membabi buta. Aku mengurungkan niat mengeksekusi Januar. Bagaimanapun juga aku masih punya hati nurani, tak mungkin aku membunuh seseorang hanya karena emosi sesaat. Batu dalam genggamanku terjatuh, kulepas cengkeraman tanganku dari leher Januar. Aku terduduk lesu di sebelah tubuh Januar yang masih terkapar.
Kulihat Januar berusaha bangkit dengan susah payah, matanya terus menatap bangkai bus dengan penuh kecemasan. ”Kenapa hari ini apes sekali kang??”ratapnya, sementara tubuhnya mulai menggigil entah karena kedinginan atau dicekam ketakutan yang luar biasa.
Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku berharap kecelakaan tragis ini hanya mimpi belaka, namun kecelakaan ini benar-benar nyata. Aku benar-benar telah membunuh 40 orang hanya dalam hitungan menit, buluk kudukku meremang saat menyadari bahwa peristiwa maut ini adalah akibat kecerobohanku.
Aku merasakan tubuhku dialiri ketakutan luar biasa, bahkan mungkin ketakutan yang aku rasakan saat ini jauh melebihi yang dirasakan Januar. Untuk saat ini aku tak mampu berpikir jernih, otakku terlalu banyak dijejali kecemasan dan ketakutan akan bayangan dosa yang telah aku lakukan malam ini.
Hujan masih deras mengguyur bumi, kelelahan luar biasa menerpaku hingga memaksaku untuk merebahkan diri di tanah basah dan berlumpur. Untuk sementara aku tak menghiraukan tubuhku yang basah kuyub, seharusnya tubuhku menggigil kedinginan, namun yang kurasakan adalah panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Rasa panas karena takut yang menggemuruh dan mengalir ke seluruh pembuluh darahku, sungguh sangat tidak nyaman....
Kulihat Januar telah berhasil menenangkan dirinya, dia juga mulai menyadari bahwa musibah ini bukan kesengajaanku. Matanya menatapku dengan iba, mungkin di dalam benaknya aku adalah sosok yang paling patut dikasihani.
------------------------------------------
”Kenapa tadi kang Wahyu ngerem mendadak sampe bis terguling?”tanya Januar pelahan, kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya di tanah berlumpur dan membiarkan tubuhnya terguyur hujan.
”Kamu tadi liat anak kecil menyeberang jalan gak?”tanyaku pada Januar, sementara mataku masih menatap awan pekat yang rata menyelimuti permukaan langit. Hujan sudah tidak terlalu deras membasuh tubuh kelelahan kami.
Januar terperanjat mendengar pertanyaanku,”Benar kang Wahyu melihat anak kecil menyeberang jalan?”
”Iya benar! Makanya aku ngerem sekuat-kuatnya sampai bis terguling...”tegasku.
”Sumpah bang aku gak liat ada anak kecil menyeberang jalan...”jawab Januar.
Aku terkesiap mendengar jawaban Januar, jika tidak ada anak kecil menyeberang jalan lalu apa yang aku liat itu? Apakah anak kecil yang aku lihat sekilas itu tidak nyata? Apakah itu hanya halusinasiku saja? Ataukah anak kecil itu adalah makhluk halus yang sengaja menjadi penyebab kecelakaan maut ini?
Aku berusaha mengingat kembali alur kecelakaan yang membuat bis jatuh ke jurang dan terbakar. Bulu kudukku meremang begitu menyadari bahwa tak mungkin di tempat terpencil seperti ini ada anak kecil keluyuran malam hari. Jika anak kecil itu benar-benar nyata tentu tidak mungkin selamat dari hantaman bis. Jika anak itu memang manusia, pasti mayatnya sekarang sudah terkapar di jalan raya.
”Bang! Kita liat aja apakah anak kecil itu benar-benar ketabrak bis atau enggak!”ajak Januar tiba-tiba.
”Aku juga berpikiran sama dengan kau Jan....” jawabku lirih.
Kemudian aku mengumpulkan tenaga yang masih tersisa, aku berusaha bangkit. Hujan tinggal rintik-rintik , langit malam hari mulai tersingkap karena awan-awan berangsur menipis. Bulan tergantung separuh di langit, memberi sedikit cahaya ke dasar jurang. Kepalaku mendongak sementara mataku berusaha mencari puncak jurang.
”Ya Tuhan, ternyata jurang ini sangat dalam” gumamku, secara samar aku dapat melihat dinding jurang yang curam ini dipenuhi batu-batu tajam, kecil kemungkinan nyawa manusia bisa selamat jika jatuh di jurang ini, kecuali keajaiban yang menyelamatkannya.
Beruntung nyawaku berhasil selamat dari jurang yang mengerikan, tapi sialnya kenapa harus aku yang mengalami kejadian tragis ini. Kenyataan ini menggelitik benakku, karena baru kali ini aku merasa menjadi orang paling beruntung sekaligus paling sial di saat bersamaan.
”Kita jangan lama-lama disini kang..”kata Januar, meskipun sepertinya tenaganya telah habis, Januar terus berusaha mendaki tebing jurang. Tubuhnya yang ceking terlihat lihai bergerak menuju pucak jurang, sementara aku masih berusaha mengumpulkan tenaga dan menyusul Januar mendaki tebing.
”Ayo kang!keburu pagi!!”teriak Januar yang telah berada 5 meter diatasku.
”Tunggu Jan!” aku balas berteriak kepada Januar. Ternyata tidak mudah mendaki tebing yang terjal ini, hujan deras membuat tanah pijakan menjadi sangat licin karena lumpur yang melumer.
Sangat susah payah aku mencoba mendaki tebing sementara tubuh lincah Januar telah hampir sampai di puncak jurang. ”Ayo kang! Lebih cepet lagi!!”seru Januar sambil kepalanya melongok melihat keadaanku yang kesulitan mencari medan yang lebih mudah.
”Sialan!” aku mengumpat saat lumpur menciprat mataku. Ternyata aku baru menyadari bahwa staminaku sangat jauh menurun jika dibandingkan saat masih kuliah sepuluh tahun silam.
Meskipun tenagaku telah hampir terkuras karena pendakian ini, aku sedikit merasakan kelegaan karena tinggal beberapa meter lagi pendakian yang sangat melelahkan ini segera berakhir.
”Jangan nyerah kang!tinggal dikit lagi!”teriak Januar memberi semangat. Cukup memalukan rasanya kalah stamina dengan bocah umur belasan tahun, telah beberapa kali aku berhenti mendaki hanya untuk mengatur nafasku yang terengah-engah kelelahan. Perutku terasa mual disertai pandangan yang berkunang-kunang, menandakan bahwa tubuhku menyerah karena tak ada lagi tenaga yang tersisa. Tapi saat aku memandang ke bawah jurang dan mendapati bangkai bus dan puluhan mayat yang hangus, naluriku tergugah untuk segera melarikan diri.
”Sini kang!”kata Januar sambil mengulurkan lengan kanannya saat aku hampir menyentuh ujung jurang. Aku segera meraih lengan kurusnya itu dan tubuhku serta-merta mendapat dorongan tenaga yang membuatku kini telah berada di tepi jalan raya.
Pandangan mataku berkeliling mengamati keadaan jalan raya. Aku mendapati serpihan kaca bus yang tak terhitung jumlahnya tercecer di tengah jalan raya, aku berjalan cepat untuk mencermati jalur kecelakaan yang telah aku buat. Malam ini lalu lintas jalan raya teramat sepi, tak kudapati sesosokpun mayat anak kecil yang tergeletak di jalan raya. Bahkan ceceran darah tak setetespun tersimbah di permukaan aspal.
Aku lemas seolah tubuhku tak lagi bertulang, ternyata benar kekhawatiranku bahwa aku hanya melihat bayangan, aku hanya berhalusinasi melihat anak kecil menyeberangi jalan raya. Tapi mungkin mungkin juga kekhwawatiranku yang kedua juga benar, bahwa anak kecil kecil berbaju putih itu memang benar-benar menyeberangi jalan raya, meskipun dia bukan dari dunia ini tapi dari dunia lain yang tak terlihat mata.
Malam ini lalu lintas teramat sepi, yah...meskipun ada beberapa kendaraan yang melintas, takkan mungkin mereka menyempatkan diri untuk berhenti dan peduli pada kecelakaan di jalan raya ini.
Aku tertegun dan terdiam mematung seperti juga Januar yang terlihat lesu seolah tanpa darah. Tubuh kami terlalu lelah untuk beranjak dari tempat kami bersandar. Lari dari kenyataan pun rasanya tak ada gunanya lagi, para polisi terlalu cerdik untuk mengungkap kasus kecil semacam ini.
Biarlah pagi hari menjemput tubuh lelah kami dan memberi kabar kepada kantor polisi untuk segera menjemput kami menuju jeruji penjara. Entah apa yang harus kukatakan kepada istriku saat melihat suaminya meringkuk di penjara untuk waktu yang lama. Entah bagaimana nantinya aku menyelamatkan pernikahan kami....(joko suwono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar